Pentingnya Penulisan Ilmu
BAB II
PEMBAHASAN
A. Hadits
1.
Hadits
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ حَدَّثَنَا
اللَّيْثُ عَنْ الْخَلِيلِ بْنِ مُرَّةَ عَنْ يَحْيَى بْنِ أَبِي صَالِحٍ عَنْ
أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ: كَانَ
رَجُلٌ مِنْ الْأَنْصَارِ يَجْلِسُ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
فَيَسْمَعُ مِنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْحَدِيثَ
فَيُعْجِبُهُ وَلَا يَحْفَظُهُ فَشَكَا ذَلِكَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ
عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنِّي أَسْمَعُ مِنْكَ
الْحَدِيثَ فَيُعْجِبُنِي وَلَا أَحْفَظُهُ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى
اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَعِنْ بِيَمِينِكَ وَأَوْمَأَ بِيَدِهِ لِلْخَطِّ.[1]
Pohon Sanad
Nabi
Muhammad

Abu
Hurairah
![]() |

Al-Khallil
Bin Murrah
![]() |
Al-Laits


Imam
At-Tirmidzi
Terjemah
Qutaibah menceritakan kepada kami, Al-Laits memberitahukan kepada
kami, dari Al-Khallil bin Murrah, dari Yahya bin Abi Shalih, dari Abu Hurairah
berkata: “seseorang dari golongan Anshar duduk disamping Rasulullah SAW,
lalu ia mendengar hadist dari Nabi SAW, kemudian ia tertarik kepadanya tapi
tidak bisa menghafalnya, lalu ia mengadukan hal itu kepada Rasulullah SAW,
sambil berkata: ‘Wahai Rasulullah sungguh aku mendengar hadist dari engkau lalu
aku tertarik kepadanya tapi aku tidak bisa menghafalkannya.’ Rasulullah SAW
bersabda: ‘minta tolonglah kepada tangan kananmu’, dan beliau memberi isyarat
dengan tangan beliau kepada tulisan.”
2.
Hadits
حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ سَلَامٍ
قَالَ أَخْبَرَنَا وَكِيعٌ عَنْ سُفْيَانَ عَنْ مُطَرِّفٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ
أَبِي جُحَيْفَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ أَبِي طَالِبٍ: هَلْ
عِنْدَكُمْ كِتَابٌ قَالَ لَا إِلَّا كِتَابُ اللَّهِ أَوْ فَهْمٌ أُعْطِيَهُ
رَجُلٌ مُسْلِمٌ أَوْ مَا فِي هَذِهِ الصَّحِيفَةِ قَالَ قُلْتُ فَمَا فِي هَذِهِ
الصَّحِيفَةِ قَالَ الْعَقْلُ وَفَكَاكُ الْأَسِيرِ وَلَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ
بِكَافِرٍ.[2]
Pohon Sanad


Abu Juhaifah
![]() |


Sufyaan
![]() |
Waqi’
![]() |

Imam Bukhori
Terjemah
Dari Abu Juhaifah, ia berkata: saya berkata kepada Ali: “Apakah
kamu mempunyai Kitab?” ia menjawab: “tidak, melainkan kitab Allah, atau
kekuatan memahami yang dianugerahkan (oleh Allah) kepada seorang Muslim atau
apa-apa (yang ditulis) di dalam shahifah ini”. Abu Juhaifah berkata lagi: “saya
lalu bertanya: Apakah yang tercantum dalam lembaran ini?” Ali menjawab: “yaitu
mengenai hal diikat dan dilepaskannya seorang tawanan dan lagi seorang muslim
itu tidak boleh dibunuh dengan sebab membunuh orang kafir.”
3.
Hadits
حَدَّ ثَنَا مُؤَمَّلٌ قَالَ:
اَخْبَرْنَا الوَلِيْدُ ح. وَحَدَّ ثَنَا العَبَّاسُ بْنُ الوَلِيْدِ بْنِ
مَزِيْدٍ قَالَ: اَخْبَرَنِيى اَبِي، عَنْ الأَوْزَاعِّي، عَنْ يَحْيَ بْنِ اَبِي
كَثِيْرٍ قَالَ: أَخْبَرَنَا اَبُوْ سَلَمَةَ. يَعْنِي ابْنُ عَبْدُالرَّحْمَنِ-
قَالَ حَدَّثَنِي اَبُوْ هُرَيْرَةَ قَالَ: "لَمَّا فُتِعَتْ مَكَّةُ قَامَ
النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ الخُطْبَةَ، خُطْبَةَ
النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: فَقَامَ رَجُلٌ مِنْ اَهْلِ
اليَمَنِ يُقَالُ لَهُ اَبُوْ شَاهٍ فَقَالَ: يَا رَسُوْلَ لله اُكْتُبُوا لِي،
فَقَالَ: اُكْتُبُوْا لِاَبِي شَاهٍ" (رواه ابو داود)[3]
Pohon Sanad
Nabi Muhammad
![]() |
Abu Hurairah
![]() |
Ya’ni bin
Abdurrahman
![]() |
Abu Salamah
![]() |
Yahya bin Abi
Katsir
![]() |
Auza’an
![]() |



Abu Daud
Terjemah
Mu’ammal menceritakan kepada kami dari Walid dan Abbas bin Walid
bin Yazid: telah diceritakan kepadaku tentang Auza’y, dari Yahya bin Abi Katsir
berkata: Abu Salamah menceritakan kepada kami tentang Abdurrahman - Dari Abi
Hurairah r.a berkata: “Sewaktu Fathul Makkah Nabi SAW berdiri, selanjutnya
beliau menyebutkan khutbah Nabi SAW, lalu katanya: maka berdirilah seorang
laki-laki penduduk Yaman bernama Abu Syah. Kata orang-orang itu: “Wahai
Rasulullah, tuliskan untuk saya, maka beliau bersabda: tuliskan untuk Abi
Syah.”(H.R. Abu Daud)
B.
Ayat Pendukung
úc
4 ÉOn=s)ø9$#ur $tBur
tbrãäÜó¡o„
ÇÊÈ
Artinya
: “Nun. Demi pena dan apa yang mereka ketahui”.
“Ï%©!$# zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ
Artinya: “Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran qalam”.
C.
Penjelasan
Hadits di atas berbicara tentang pentingnya penulisan sebuah hadits
(ilmu), diceritakan bahwa seorang penduduk Yaman, Abu Syah, meminta kepada
Rasulullah untuk menuliskan khutbah beliau yang begitu panjang menurutnya
sehingga dia tidak bisa menghafalnya. Kemudian Rasulullah memerintahkan sebagian
sahabatnya (sekretarisnya) untuk menuliskan khutbah beliau tersebut, lalu
diberikan kepada Abu Syah.
Peristiwa tersebut sekilas bertentangan dengan riwayat Abu Sa’id
al-Khudhri, yang mengatakan bahwa Nabi tidak mengijinkan penulisan hadits,
karena takut akan bercampur dengan Al-Qur’an. Namun kedua riwayat tersebut bisa
dikompromikan yaitu larangan penulisan hadits tersebut dikeluarkan pada saat
para sahabat belum bisa membedakan antara redaksi Al-Qur’an dengan Hadits,
namun ketika mereka sudah bisa membedakan antara keduanya, Rasulullah SAW.
memperbolehkan sahabatnya untuk menulis sabda-sabda beliau sebagaimana hadits
Abu Syah di atas.[4]
Sahabat tersebut menginginkan untuk dituliskan apa yang telah
dikatakan Nabi karena sahabat tersebut ingin menyampaikan perkataan Nabi kepada
para penduduk Yaman. Oleh karena itu sahabat meminta dituliskan karena takut
lupa. Jadi, ketika seorang muslim telah mendapat ilmu seharusnya ia menulisnya
agar ketika ia lupa ia dapat membukanya lagi.
Melihat hadits di atas dapat diambil pelajaran bahwa orang sekelas Ali
pun juga menulis apa yang pernah Nabi sampaikan. Ali merasa dirinya perlu untuk
menulis apa yang telah keluar dari perkataan Nabi. Ali juga pernah
mengatakan “Ilmu itu seperti hewan
buruan, maka ikatlah ia (dengan menuliskannya)”. Ini mengisyaratkan betapa
pentingnya menulis dalam hal kita mencari ilmu.
Bukan hanya Imam Ali yang mempunyai catatan tentang hadits-hadits
Rasulullah, sahabat lain yang bernama Abdullah bin Amru juga gemar menulis
sabda-sabda Rasulullah Saw. sebagaimana yang dilaporkan Abu Hurairah:
قَالَ سَمِعْتُ اَبَا هُرَيْرَةَ
يَقُوْلُ: لَيْسَ اَحَدٌ مِنْ اَصْحَابِ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ اَكْثَرَ حَدِيْثًا عَنْ رَسُوْلِ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ
وَسَلَّمَ مِنِّى اِلاَّ عَبْدَ اللهِ بْنَ عَمْرٍ فَاِنَّهُ كَانَ يَكْتُبُ وَ
كُنْتُ لاَ اَكْتُبُ (رواه الترمذي)[5]
Artinya: Aku mendengar Abu
Hurairah berkata : “Tidak ada
seseorang dari para sahabat Rasulullah yang lebih banyak haditsnya dari
Rasulullah SAW daripada aku kecuali Abdullah bin Amr, karena sesungguhnya dia
menulis, sedangkan aku tidak menulis.”(H.R. Tirmidziy)
Pernyataan Abu Hurairah : “Dia (Abdullah
bin Amr) menulis hadits yang tidak aku tulis” menunjukkan bahwa Abdullah
bin Amr bin Ash lebih banyak memiliki hadits ketimbang dirinya.
Selain dari hadits, dalam Al-Qur’an juga diterangkan tentang
pentingnya penulisan ilmu
úc 4 ÉOn=s)ø9$#ur $tBur
tbrãäÜó¡o„
ÇÊÈ
Artinya : “Nun. Demi pena dan apa yang mereka ketahui”.
Dalam
kitab tafsir klasik banyaklah kita dapati penafsiran tentang ayat 1 ini, yatu: “Nun.
Demi pena dan apa yang mereka tulis.” (ayat 1). Riwayat dari Ibnu
Abbas juga, diikuti penafsiran oleh
ad-Dhahak al-Hasan dan Qatadah: “Arti Nun ialah dakwat atau tinta.” Tentang
Qalam, atau disebut juga pena, yang diambil menjadi sumpah utama oleh Tuhan di
permulaan ayat 1. Ada pula terdapat berbagai ragam tafsir. Ada yang mengatakan
bahwa yang mula-mula sekali diciptakan oleh Tuhan dari makhlukNya ini tidak
lain adalah qalam atau pena.
Disebutkan pula bahwa panjang qalam
itu ialah sepanjang di antara langit dan bumi dan dia tercipta dari nur,
artinya cahaya. Dalam tafsiran itu dikatakan bahwa Allah memerintahkan kepada qalam daripada nur itu agar dia
terus menerus menulis. Lalu dituliskannyalah apa yang menjadi dan apa yang ada
ini baik ajal atau amal perbuatan.[6]
Cobalah pertalikan ayat ini dengan ayat yang mula-mula turun kepada
Rasulullah SAW di dalam Gua Hira’ di atas bukit nur. Ayat ke 4 dari
surat al-‘Alaq:
“Ï%©!$#
zO¯=tæ ÉOn=s)ø9$$Î/ ÇÍÈ
Artinya: “Yang mengajar
(manusia) dengan perantaran qalam”.
Di antara Qalam dalam Surat al-‘Alaq sebagai ayat
yang mula-mula turun dan “Qalam” di Surat ini, dan kedua-duanya sama
turun di Makkah, memang ada pertalian yang patut menjadi perhatian kita.
Keduanya menarik perhatian manusia tentang pentingnya qalam atau pena
dalam hidup manusia di atas permukaan bumi ini. dengan qalamlah ilmu pengetahuan dicatat. Bahkan kitab-kitab suci yang
diturunkan Allah Ta’ala kepada Nabi-nabiNya; Taurat, Injil, Zabur dan al-Qur’an
dan berpuluh zabur- zabur yang
diturunkan kepada Nabi-nabi sebagai tercatat didalam perkumpulan “Perjanjian
Lama”, barulah menjadi dokumentasi agama setelah semuanya itu dicatat. Kitab
suci al-Qur’an sendiri yang mulanya hanya sebagai hafalan dan tercatat
terserak-serak dalam berbagai catatan barulah berarti untuk menjadi pegangan
kaum Muslimin di permukaan bumi ini sudah 14 abad sampai sekarang setelah dia
dijadikan satu mushaf; mulanya atas prakarsa dari khalifah Nabi yang pertama,
Sayyidina Abu Bakar Shiddiq, setelah itu disalin kedalam beberapa naskah atas
perintah khalifah ketiga, Amirul Mu’minin Sayyidina Usman Bin Affan.
Semuanya itu dikembangkan dengan Nun, Wal Qalami Wa Ma Yasturun. Dengan tinta pena dan apa yang
mereka tuliskan di atas kertas berbagai ragam. Sejak 14 abad, Sehingga
bekas-bekas itu pun telah mempertemukan kita yang datang di belakang ini dengan
nenek-moyang manusia yang hidup ribuan tahun masa lampau. Semuanya ini memberi
kesan kapada kita bagaimana kebesaran dan mu’jizat yang diberikan Allah kepada
Nabi kita Muhammad SAW.
BAB III
PENUTUP / KESIMPULAN
Dalam penjelasan di atas dapat disimpulkan bahwa penulisan sebuah
hadits atau ilmu itu sangat penting. Karena berdasarkan riwayat, Rasulullah SAW
meminta kepada sekretarisnya untuk menuliskan sebuah khutbah beliau untuk
diberikan kepada Abu Syah yang meminta untuk dituliskan karena takut lupa.
Sehingga apabila seorang muslim telah mendapatkan ilmu seharusnya ia menulisnya
agar ketika ia lupa dapat membukanya lagi.
Pernyataan dari Abu Hurairah menunjukkan bahwa Abdullah bin Amr bin
Ash lebih banyak memiliki hadits ketimbang dirinya. Namun dalam kenyataannya,
banyak riwayat Abu Hurairah yang tersebar daripada riwayat Abdullah bin Amr, di
mana seolah-olah riwayat Abu Hurairah lebih banyak.
Selain itu dalam surat al-Qalam ayat 1 dan al-Alaq ayat 4, Allah
SWT juga memberikan isyarat kepada kaum muslimin bahwa ilmu-Nya sangat luas,
tiada batas dan tiada terhingga. Oleh karena itu, Allah SWT memerintahkan untuk
menuntut ilmu agar dapat dimanfaatkan untuk kepentingan duniawi dan untuk
mencatat dan menyampaikannya kepada orang lain agar tidak hilang karena lupa
atau orang yang memilikinya meninggal dunia.
[1] Hadits Riwayat Tirmidziy dalam Sunannya, Kitab al-Ilmi, Bab
Kitaabatu al-Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, 1994 M/ 1414 H), jld. 3, hal. 303-304.
[2] Hadits Riwayat Bukhari dalam Shahihnya, Kitab
al-Ilmi, Bab Kitaabatu al-Ilmi (Beirut: Dar al-Fikr, 1994 M/1414 H), jld. 1,
hal. 36.
[3] Hadits Riwayat Abu Daud dalam Sunannya, Kitab al-Ilmi, Bab
Kitaabatu al-Ilmi (Beirut: Dar al-Fikri, 1994 M/ 1414 H), jld. 3, hal. 315.
[4] Abdurrahman
Muhammad Utsman, ‘Aunul Ma’bud fi Syarhi Sunan Abu Daud (Beirut: Dar
al-Fikri, 1994), jld. 10, hal. 79.
[5]Op.cit. Hadits
Riwayat Tirmidziy, hal. 304.
[6] Hamka, Tafsir al-Azhar (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1983),
jld. 21, hal. 37.