Dinasti Fatimiyah
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam
Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti dinasti Bani
Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut
merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rasulullah
dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Dinasti Fathimiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada
dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban dan
pendidikan Islam. Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah,
yakni Syi’ah Ismailiyah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia
pada tahun 909 M oleh Ubaidillah Al Mahdi. Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi
komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, yang pada akhirnya isu
tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada
Khilafah Abbasiyah yang terpusat di Baghdad.
Disini penulis akan membahas tentang awal terbentuknya
Dinasti Fatimiyah serta kontribusinya terhadap perjalanan sejarah pendidikan di
dunia Islam.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana
sejarah terbentuknya Dinasti Fatimiyah?
2.
Bagaimana
keadaan sosial Dinasti Fatimiyah?
3.
Apa saja
politik dalam negeri dan luar negeri Dinasti Fatimiyah?
4.
Apa saja
lembaga pendidikan pada masa Fatimiyah?
5.
Bagaimana
perjalanan pendidikan Islam pada masa Dinasti Fatimiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Dinasti Fatimiyah
Dinasti
Fatimiyah berdiri menjelang abad ke-10 ketika kekuasaan Dinasti Abbasiyah di
Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak lagi
terkoordinasikan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi kemunculan
dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya
memiliki tentara sendiri. Di antara dinasti kecil yanag memisahkan itu adalah
Dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az
Zahra, putri Rasulullah SAW. oleh karenanya para khalifah Fatimiyah
mengembalikan asal-usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti
Muhammad Rasulullah. Dinasti ini muncul di Afrika utara pada akhir abad ke 3 H
di bawah pimpinan Ubaidillah Al Mahdi yang memiliki mazhab Syi’ah Ismailiyah.
Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah melalui garis
Ismail putra Ja’far Al Shadiq.
Pada
tahun 909 M kelompok Syi’ah Ismailiyah di Afrika utara ini dapat
mengonsolidasikan gerakannya, sehingga pemimpin gerakan ini Ubaidillah Al Mahdi
mengumumkan berdirinya Dinasti Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Dinasti
Abbasiyah. Ia memperkuat dan mengonsolidasikan khalifahnya di Tunisia dengan
bantuan Abdullah Al-Syi’ii seorang dari Ismailiyah yang sangat besar perannya
dalam mendirikan Dinasti Fatimiyah tersebut.
Pada
tahun 362 H (973 M), khalifah Mu’idz Lidinillah memindahkan ibu kota
Dinasti dari Khairawan di Tunisia ke Al Qahirah di Mesir. Pada tahun ini pula diresmikannya
Masjid Al-Azhar yang di dalamnya berdiri Universitas Al-Azhar, yang berfungsi
sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan
mendasarkan pada mazhab Syi’ah Ismailiyah.[1]
B.
Keadaan Sosial Masa Dinasti Fatimiyah
Masyarakat
Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah terdiri dari kelompok Ahli Sunnah dan Syi’ah.
Kelompok Ahli Sunnah merupakan kelompok mayoritas yang tinggal di Mesir sejak
masa Dinasti Thulun. Kelak banyak pengikut Sunni beralih ke mazhab Fatimi
dikarenakan banyaknya kedudukan dan jabatan yang ditawarkan oleh Dinasti
Fatimiyah ini.
Kelompok
kedua adalah orang-orang Afrika yang dalam Dinasti Fatimiyah ini memiliki
kedudukan sebagai tentara-tentara. Mereka tidak pernah menimbulkan permusuhan
terhadap pengikut mazhab Sunni ataupun Syi’ah selama masa pemerintahan Dinasti
Fatimiyah.
Kelompok
masyarakat ketiga adalah Ahl Dzimah, yang terdiri dari orang Yahudi dan
Nasrani. Kelompok ini banyak menempati posisi jabatan dan kedudukan dalam
dinasti ini sehingga banyak pula di antara mereka yang masuk Islam dan mengikuti
mazhab Ismailiyah. Hubungan sosial orang Fatimiyah terhadap orang Nasrani dan
Yahudi terjalin dengan penuh damai dan diwarnai dengan toleransi keberagamaan
yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan diizinkannya mereka mendirikan gereja
oleh para wazir dinasti ini.
Kelompok
keempat adalah orang-orang Turki yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti
Thuluniyah hingga masa Khalifah Al-Hakim.
Kelompok
kelima adalah orang-orang Sudan yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti
Ikhsyidiyah hingga masa khalifah Al-Hakim yang menyelamatkan mereka dari
tentara Turki. Pada akhirnya mereka aman berada dalam dinasti ini ketika
khalifah Al Zhahir menikahi Ratu Sudan.[2]
C.
Politik Dalam Negeri dan Luar Negeri
Era Fatimiyah
berlangsung selama kurang lebih dua abad dan
merupakan jaman kemakmuran. Mesir tidak mengalami kerusuhan yang merongrong
kehidupan sehari-hari seperti di Irak dan Suriah. Perdagangan berkembang dan
didorong oleh pemerintah, dan perdagangan itu ke segala arah, ke India melalui
Laut Merah, ke Italia melalui Laut Tengah barat, dan kadang-kadang kekerajaan Bizantium.
Karena sikap rezim yang toleran, maka jaman itu adalah jaman vitalitas
intelektual yang tinggi.[3]
Politik
dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu berusaha mengajak
masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Ismailiyah, dan menjadikan mazhab ini
sebagai mazhab utama di negara Mesir dan wilayah negeri yang berada di
bawahnya.
Politik
Fatimiyah kepada kelompok Ahlu Sunnah antara lain dengan apa yang dilakukan
khalifah Al-Aziz pada bulan Safar tahun 357 H/ 995 M. Ia memerintahkan menulis
kalimat penghinaan kepada sahabat (Abu Bakar, Umar, dan Usman) di sepanjang
tembok masjid Atiq dan kantin-kantin serta kuburan. Fanatisme mazhab Fatimiyah
ini meningkat pada masa khalifah Al-Hakim.
Adapun
politik luar negerinya ialah, bahwa tidak diragukannya berdirinya Dinasti
Fatimiyah di Afrika memberikan nuansa kekhawatiran pada Dinasti Abbasiyah dikarenakan
penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan derajat Fatimiyah di wilayah
Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz. Penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat
memudahkan dalam menguasai wilayah Baghdad pada masa itu. Karena itu khalifah
Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti Fatimiyah yang pada
akhirnya terjadi peperangan antara Buwaihi dan Fatimiyah.
D.
Lembaga Pendidikan Dinasti Fatimiyah di Mesir
Perkembangan
kebudayaan Islam pada masa ini mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal
ini disebabkan berkembangnya penerjemahan dan penerbitan sumber-sumber
pengetahuan dari bahasa asing seperti bahasa Yunani, Persia, dan India ke dalam
Bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, sultan, dan ‘umara untuk
melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra. Diantara lembaga-lembaga
pendidikan pada dinasti Fathimiyah antara lain:
1.
Masjid Al-Azhar dan Istana
Setelah
pembangunan kota Kairo lengkap dengan istananya, Jawhar Al-Siqili mendirikan
Masjid Al-Azhar pada tanggal 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini selesai
dibangun pada tahun 361 H (972 M),
merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir. Hal ini
merupakan usaha Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan paham Syi’ah. Nama Al-Azhar
diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad saw. dan istri Ali
bin Abu Thalib (imam pertama Syi’ah).[4]
Di masjid ini
disediakan makanan bagi para pelajar miskin, sedangkan harta-harta waqaf yang
terdapat disini digunakan untuk memelihara masjid dan untuk beasiswa bagi
murid-murid yang belajar di sini. Pelajar miskin yang bertempat tinggal
Al-Azhar kadang mencapai sekitar 750 orang, sebagian dari mereka datang dari
Persia, Maghrib, dan petani-petani dari Mesir sendiri. Para pelajar disini
tidak terikat sesuatu syarat pun, umur, jenis kelamin, atau keahlian. Disini
terdapat 2 kategori pelajar, yaitu murid yang terdaftar dan menetap belajar
hingga tamat dan murid pendengar yang
tidak terdaftar (seperti pendatang ceramah dan tidak terikat kurikulum). Ilmu-ilmu
yang diajarkan seperti syair, nahwu, sastra, falak, hisab, dan kadang diajarkan
ilmu kedokteran.[5]
Pada masa
Dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih khususnya ulama
yang menganut madzhab syi’ah ismailiyah juga para wazir dan hakim. Mereka
berkumpul membuat buku tentang madzhab Syi’ah Ismailiyah yang akan diajarkan
kepada masyarakat. Fungsi para hakim dalam perkumpulan ini adalah untuk
memutuskan perkara yang timbul dalam proses pembelajaran madzhab syi’ah
tersebut. Dengan tampak jelas lembaga-lembaga menjadi sarana bagi penyebaran
ideologi mereka.
Di kemudian
hari masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar pada akhir masa
al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M) yang
sampai sekarang masih berdiri megah. Universitas ini merupakan lembaga pendidikan
tertua di dunia Islam, sebagai pioner kemajuan dan perkembangan ilmu
pengetahuan.
Setelah Daulat
Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin Al-Ayyubi tahun 567 H (1171 M), melalui
Al-Azhar, aliran Syiah yang telah berkembang sekian lama dihilangkan dan diganti
dengan aliran Sunni.
2.
Perpustakaan
Perpustakaan
juga memiliki peran yang tidak kecil dibandingkan Masjid dalam penyebaran
Aqidah Syi’ah Ismailiyah di masyarakat. Untuk itu para khalifah dan wazir
memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan
istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu. Perpustakaan terbesar
yang dimiliki dinasti Fathimiyah ini diberi nama Dzar Al-‘Ulum yang masih
memiliki keterkaitan dengan perpustakaan Baitul Hikmah (perpustakaan Dinasti Abbasiyah).
Perpustakaan ini didirikan pada tahun 998 M oleh khalifah Fathimiyah Al-Aziz.
Isi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku,
termasuk 2400 buah Al-Qur’an berhiaskan emas dan perak dan disimpan di ruang
terpisah.
Diantara
penerjemahan abad kesembilan dan kesepuluh pada masa ini adalah Zurbah Ibn
Majuh an-Na’ami al-Himsi, Halal ibn Abi Halal al-Himsi, Abu al-Fath Isfahani , Fethun
at-Tarjuman, Abu Aswari, Ibnu Ayyub, Basil al-Mutran, Abu Yusuf al-Katib, Abu
Umar Yuhanna ibnu Yusuf, dan Salam al-Abrash.
3.
Dar Al-‘ilm
Pada bulan Jumadil
akhir tahun 395 H/ 1005 M atas saran
perdana menterinya Ya’qub bin Killis, khalifah Al-Hakim mendirikan jamiah
ilmiah akademik (lembaga riset). Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al-Hikmah.
Di sinilah berkumpul para ahli fikih, astronom, dokter dan ahli nahwu dan
bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Di perpustakaan ini para pelajar
dapat mempelajari fikih Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falaq, kedokteran, matematika,
falsafah serta mantiq. Para cendekiawan belajar Al-Qur’an, astronomi, tata
bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran.
E.
Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Fatimiyah
Pada
masa ini ulama membagi ilmu pengetahuan kepada dua macam, yaitu ilmu yang
berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bukan bersumber dari
Arab.
Ilmu yang
bersumber dari Al-Qur’an disebut dengan ilmu Naqliyah atau Syar’iyah
sedangkan untuk kategori yang kedua disebut dengan ilmu Aqliyah/ Hukmiyyah,
kadang disebut juga ilmu Az’am.
Yang termasuk
ilmu Naqliyyah adalah: ilmu tafsir, qiraat, ilmu hadits, fiqh, ilmu
kalam, nahwu, lughah, al-bayan dan adab. Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyyah
adalah filsafat, arsitektur, ilmu nujum, musik, kedokteran, sihir, kimia,
matematika, sejarah dan geografi. Diantara kontribusinya dalam pendidikan Islam,
yang paling menonjol adalah bidang:
1.
Bahasa dan Sastra
Di antara ulama
yang terkenal pada masa ini adalah Abu tohir An-Nahwi, Abu Ya’qub Yusuf bin
Ya’qub, Abu Hasan Ali bin Ibrahim yang telah mengarang beberapa buku sastra dan
belum sempat diterjemahkan bukunya tersebut oleh Ibn Khalikan. Ia memiliki
perpustakaan yang sangat luas berisi karya-karya Maimonides, Galen,
Hippocrates, dan Averroes yang mana terjual suatu lelang.
2.
Kedokteran
Dinasti
Fatimiyah memberikan perhatian yang sangat besar pada keahlian kedokteran.
Dinasti ini menempatkan posisi dokter di tempat yang tinggi dengan memberikan
penghargaan berupa uang dan kedudukan yang terhormat. Lazimnya para dokter ini
menguasai pula ilmu filsafat serta bahasa asing khususnya bahasa Suryani dan
Yunani selain penguasaannya terhadap ilmu kedokteran. Di antara dokter itu
ialah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Said An-Namimi yang bertempat tinggal
di Baitul Maqdis dan banyak belajar ilmu kedokteran dari seorang pendeta,
kemudian banyak menimba ilmu dari ulama di negara lain, sehingga mampu meracik
obat sendiri.
Tokoh
kedokteran lain yang terkenal adalah Musa bin al-Azzar yang Lidinillah.
Demikian pula Abu Hasan Ali al-Riwan yang menjadi dokter Khalifah al-Aziz. Selain ilmu di atas masih
terdapat banyak ilmu yang berkembang pada masa ini seperti matematika, Ilmu
falak, sejarah dan lain-lain.
3.
Syair
Para penyair
pada masa ini melakukan pujian-pujian terhadap khalifah dengan menghina syair-syair
ahli Sunnah, dengan pekerjaan ini mereka mendapat banyak imbalan dari khalifah,
di antara dari mereka adalah Ibnu Hani’. Para penyair ini bersama para khalifah
mencoba menyebarkan doktrin Syi’ah Ismailiyah melalui pantun dan syair. Selain
Ibnu Hani’ yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Abi Al-Jara’ (penyair yang hidup
pada masa khalifah Al-Aziz). Secara umum para penyair menyenandungkan pujian
akan kehebatan mazhab Syi’ah dan kebesaran serta kejayaan kepemimpinan khalifah
mereka.
4.
Filsafat
Dalam
menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan
filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato,
Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang
terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah Ikhwan al Shafa.
Sementara itu filsuf yang terkenal pada masa ini adalah Abu Hatim Al-Razi yang
menjadi tokoh pada masa khalifah Ubaidillah al-Mahdi merupakan orang yang dalam
bidang sastra, filsafat. Ia merupakan tokoh propagandis di wilayah Rayy.
Pengaruh propagandanya sangat besar yang dilakukannya di madrasah-madrasah yang
dibangun oleh Ubaidillah Al-Mahdi yang berada di Afrika Utara. Filsuf yang lain
adalah:
· Abu Ubaidillah
An Nasfi (331 H), karyanya ialah al-Mashul.
· Abu Ya’qub
as-Sajazy (331 H), diantara karyanya ialah Assasu da’wah, asy-Syaro’i,
dan Kasyful Asyror.
· Abu Hanifah
an-Nu’man al-Maghriby (363/ 973-974 M), karyanya antara lain Mukhtashar
al-Atsar, Kitab Al-Buyu’, Kitab Thaharah, Kaifiyyatu
al-Salat, dan Minhaj al-Faridh.
· Ja’far bil
Mansyur al-Yaman, karyanya: Ta’wil al-Zakat, Sarair al-Nutqa’u, Al-Jafru
al Aswad, dan Al-Kasyfu.
·
Hamiduddin Al-Kirmani, karyanya: Uyunul Akhbar, Al
Mashobihu fi Itsbati Imamah.[6]
BAB III
KESIMPULAN
1. Khilafah Bani Fatimiyah didirikan di Tunisia pada
tahun 909 M oleh Ubaidillah Al Mahdi yang
memiliki mazhab Syi’ah Ismailiyah. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi
melalui Ali dan Fatimah melalui garis Ismail putra Ja’far Al Shadiq. Dinasti
ini muncul di Afrika utara pada akhir abad ke 3 Loyalitas terhadap Ali bin Abi
Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep
Islamnya, yang pada akhirnya isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam
bentuk perlawanan kepada Khilafah Abbasiyah yang terpusat di Baghdad.
2. Masyarakat
Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah terdiri dari kelompok Ahli Sunnah dan Syi’ah,
orang-orang Afrika yang berkedudukan sebagai tentara-tentara, Ahl Dzimah,
orang-orang Turki yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti Thuluniyah
hingga masa Khalifah Al-Hakim, dan orang-orang Sudan yang telah menetap di
Mesir sejak masa Dinasti Ikhsyidiyah.
3. Politik dalam
negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu berusaha mengajak
masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Ismailiyah.
Adapun politik luar negerinya ialah, bahwa tidak diragukannya
berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika memberikan nuansa kekhawatiran pada
Dinasti Abbasiyah dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan
derajat Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz.
4. Lembaga
pendidikan pada masa Fatimiyah ialah Masjid Al-Azhar dan Istana, perpustakaan,
dan Dar al ‘Ilm.
5. Pada masa
Dinasti Fatimiyah banyak kontribusinya terhadap pendidikan Islam. Ilmu
pengetahuan yang dipelajari yaitu ilmu Naqliyyah (ilmu tafsir, qiraat,
ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, lughah, al-bayan dan adab) dan ilmu aqliyyah
(filsafat, arsitektur, ilmu nujum, musik, kedokteran, sihir, kimia,
matematika, sejarah dan geografi).
[1] Suwito, dkk., Sejarah
Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 122-123.
[2] Ibid, 123.
[3] W. Montgomery,
Kejayaan Islam Kajian Kritis dari
Tokoh Orientalis (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990), 216.
[4] Suwito, dkk., Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, 179.
[5]Asma Hasan
Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang,
1979), 35-36.
[6]Suwito, dkk., Sejarah
Sosial Pendidikan Islam, 132-133.
Ajid Thohir, Perkembangan
Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004),
116-117.
No comments:
Post a Comment