Kursor

Valentine's Day Pumping Heart

Monday, January 13, 2014

Dinasti Fatimiyah

Dinasti Fatimiyah

BAB I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Dalam Islam kita telah mengenal banyak dinasti pemerintahan, seperti dinasti Bani Umayyah, Bani Abbasiyah dan lain sebagainya. Adanya dinasti-dinasti tersebut merupakan revolusi ke tiga dari bentuk pemerintahan langsung oleh Rasulullah dan masa pemerintahan Khulafaur Rasyidin.
Dinasti Fathimiyah merupakan salah satu dinasti Islam yang pernah ada dan juga memiliki andil dalam memperkaya khazanah sejarah peradaban dan pendidikan Islam. Dinasti Fatimiyah adalah salah satu dari Dinasti Syi’ah, yakni Syi’ah Ismailiyah dalam sejarah Islam. Dinasti ini didirikan di Tunisia pada tahun 909 M oleh Ubaidillah Al Mahdi. Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, yang pada akhirnya isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khilafah Abbasiyah yang terpusat di Baghdad.
Disini penulis akan membahas tentang awal terbentuknya Dinasti Fatimiyah serta kontribusinya terhadap perjalanan sejarah pendidikan di dunia Islam.

B.  Rumusan Masalah
1.    Bagaimana sejarah terbentuknya Dinasti Fatimiyah?
2.    Bagaimana keadaan sosial Dinasti Fatimiyah?
3.    Apa saja politik dalam negeri dan luar negeri Dinasti Fatimiyah?
4.    Apa saja lembaga pendidikan pada masa Fatimiyah?
5.    Bagaimana perjalanan pendidikan Islam pada masa Dinasti Fatimiyah?




BAB II
PEMBAHASAN

A.  Sejarah Dinasti Fatimiyah
Dinasti Fatimiyah berdiri menjelang abad ke-10 ketika kekuasaan Dinasti Abbasiyah di Baghdad mulai melemah dan daerah kekuasaannya yang luas tidak lagi terkoordinasikan. Kondisi ini telah membuka peluang bagi kemunculan dinasti-dinasti kecil di daerah-daerah, terutama yang gubernur dan sultannya memiliki tentara sendiri. Di antara dinasti kecil yanag memisahkan itu adalah Dinasti Fatimiyah. Dinasti Fatimiyah sendiri mengambil nama dari Fatimah Az Zahra, putri Rasulullah SAW. oleh karenanya para khalifah Fatimiyah mengembalikan asal-usul mereka kepada Ali bin Abi Thalib dan Fatimah binti Muhammad Rasulullah. Dinasti ini muncul di Afrika utara pada akhir abad ke 3 H di bawah pimpinan Ubaidillah Al Mahdi yang memiliki mazhab Syi’ah Ismailiyah. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah melalui garis Ismail putra Ja’far Al Shadiq.
Pada tahun 909 M kelompok Syi’ah Ismailiyah di Afrika utara ini dapat mengonsolidasikan gerakannya, sehingga pemimpin gerakan ini Ubaidillah Al Mahdi mengumumkan berdirinya Dinasti Fatimiyah yang terlepas dari kekuasaan Dinasti Abbasiyah. Ia memperkuat dan mengonsolidasikan khalifahnya di Tunisia dengan bantuan Abdullah Al-Syi’ii seorang dari Ismailiyah yang sangat besar perannya dalam mendirikan Dinasti Fatimiyah tersebut.
Pada tahun 362 H (973 M), khalifah Mu’idz Lidinillah memindahkan ibu kota Dinasti dari Khairawan di Tunisia ke Al Qahirah di Mesir. Pada tahun ini pula diresmikannya Masjid Al-Azhar yang di dalamnya berdiri Universitas Al-Azhar, yang berfungsi sebagai pusat pengkajian Islam dan pusat pengembangan ilmu pengetahuan dengan mendasarkan pada mazhab Syi’ah Ismailiyah.[1]

B.  Keadaan Sosial Masa Dinasti Fatimiyah
Masyarakat Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah terdiri dari kelompok Ahli Sunnah dan Syi’ah. Kelompok Ahli Sunnah merupakan kelompok mayoritas yang tinggal di Mesir sejak masa Dinasti Thulun. Kelak banyak pengikut Sunni beralih ke mazhab Fatimi dikarenakan banyaknya kedudukan dan jabatan yang ditawarkan oleh Dinasti Fatimiyah ini.
Kelompok kedua adalah orang-orang Afrika yang dalam Dinasti Fatimiyah ini memiliki kedudukan sebagai tentara-tentara. Mereka tidak pernah menimbulkan permusuhan terhadap pengikut mazhab Sunni ataupun Syi’ah selama masa pemerintahan Dinasti Fatimiyah.
Kelompok masyarakat ketiga adalah Ahl Dzimah, yang terdiri dari orang Yahudi dan Nasrani. Kelompok ini banyak menempati posisi jabatan dan kedudukan dalam dinasti ini sehingga banyak pula di antara mereka yang masuk Islam dan mengikuti mazhab Ismailiyah. Hubungan sosial orang Fatimiyah terhadap orang Nasrani dan Yahudi terjalin dengan penuh damai dan diwarnai dengan toleransi keberagamaan yang tinggi. Hal ini dibuktikan dengan diizinkannya mereka mendirikan gereja oleh para wazir dinasti ini.
Kelompok keempat adalah orang-orang Turki yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti Thuluniyah hingga masa Khalifah Al-Hakim.
Kelompok kelima adalah orang-orang Sudan yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti Ikhsyidiyah hingga masa khalifah Al-Hakim yang menyelamatkan mereka dari tentara Turki. Pada akhirnya mereka aman berada dalam dinasti ini ketika khalifah Al Zhahir menikahi Ratu Sudan.[2]
C.  Politik Dalam Negeri dan Luar Negeri
Era Fatimiyah berlangsung selama kurang lebih dua abad dan merupakan jaman kemakmuran. Mesir tidak mengalami kerusuhan yang merongrong kehidupan sehari-hari seperti di Irak dan Suriah. Perdagangan berkembang dan didorong oleh pemerintah, dan perdagangan itu ke segala arah, ke India melalui Laut Merah, ke Italia melalui Laut Tengah barat,  dan kadang-kadang kekerajaan Bizantium. Karena sikap rezim yang toleran, maka jaman itu adalah jaman vitalitas intelektual yang tinggi.[3]
Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Ismailiyah, dan menjadikan mazhab ini sebagai mazhab utama di negara Mesir dan wilayah negeri yang berada di bawahnya.
Politik Fatimiyah kepada kelompok Ahlu Sunnah antara lain dengan apa yang dilakukan khalifah Al-Aziz pada bulan Safar tahun 357 H/ 995 M. Ia memerintahkan menulis kalimat penghinaan kepada sahabat (Abu Bakar, Umar, dan Usman) di sepanjang tembok masjid Atiq dan kantin-kantin serta kuburan. Fanatisme mazhab Fatimiyah ini meningkat pada masa khalifah Al-Hakim.
Adapun politik luar negerinya ialah, bahwa tidak diragukannya berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika memberikan nuansa kekhawatiran pada Dinasti Abbasiyah dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan derajat Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz. Penguasaan atas wilayah ini pula akan sangat memudahkan dalam menguasai wilayah Baghdad pada masa itu. Karena itu khalifah Abbasiyah memancing Dinasti Buwaihi untuk memerangi Dinasti Fatimiyah yang pada akhirnya terjadi peperangan antara Buwaihi dan Fatimiyah.
D.  Lembaga Pendidikan Dinasti Fatimiyah di Mesir
Perkembangan kebudayaan Islam pada masa ini mencapai kondisi yang sangat mengagumkan. Hal ini disebabkan berkembangnya penerjemahan dan penerbitan sumber-sumber pengetahuan dari bahasa asing seperti bahasa Yunani, Persia, dan India ke dalam Bahasa Arab yang banyak mendorong para wazir, sultan, dan ‘umara untuk melahirkan tokoh-tokoh ilmu pengetahuan dan sastra. Diantara lembaga-lembaga pendidikan pada dinasti Fathimiyah antara lain:


1.    Masjid Al-Azhar dan Istana
Setelah pembangunan kota Kairo lengkap dengan istananya, Jawhar Al-Siqili mendirikan Masjid Al-Azhar pada tanggal 17 Ramadhan 359 H (970 M). Masjid ini selesai dibangun pada tahun 361 H (972 M),  merupakan masjid pertama di Kairo dan masjid keempat di Mesir. Hal ini merupakan usaha Dinasti Fatimiyah untuk menyebarkan paham Syi’ah. Nama Al-Azhar diambil dari al-Zahra, julukan Fatimah, putri Nabi Muhammad saw. dan istri Ali bin Abu Thalib (imam pertama Syi’ah).[4]
Di masjid ini disediakan makanan bagi para pelajar miskin, sedangkan harta-harta waqaf yang terdapat disini digunakan untuk memelihara masjid dan untuk beasiswa bagi murid-murid yang belajar di sini. Pelajar miskin yang bertempat tinggal Al-Azhar kadang mencapai sekitar 750 orang, sebagian dari mereka datang dari Persia, Maghrib, dan petani-petani dari Mesir sendiri. Para pelajar disini tidak terikat sesuatu syarat pun, umur, jenis kelamin, atau keahlian. Disini terdapat 2 kategori pelajar, yaitu murid yang terdaftar dan menetap belajar hingga tamat dan murid  pendengar yang tidak terdaftar (seperti pendatang ceramah dan tidak terikat kurikulum). Ilmu-ilmu yang diajarkan seperti syair, nahwu, sastra, falak, hisab, dan kadang diajarkan ilmu kedokteran.[5]
Pada masa Dinasti ini masjid juga menjadi tempat berkumpulnya ulama fiqih khususnya ulama yang menganut madzhab syi’ah ismailiyah juga para wazir dan hakim. Mereka berkumpul membuat buku tentang madzhab Syi’ah Ismailiyah yang akan diajarkan kepada masyarakat. Fungsi para hakim dalam perkumpulan ini adalah untuk memutuskan perkara yang timbul dalam proses pembelajaran madzhab syi’ah tersebut. Dengan tampak jelas lembaga-lembaga menjadi sarana bagi penyebaran ideologi mereka.
Di kemudian hari masjid ini berkembang menjadi sebuah universitas besar pada akhir masa al-Mu’iz li Dinillah al-Fatimi pada bulan Shafar 365 H (Oktober 975 M) yang sampai sekarang masih berdiri megah. Universitas ini merupakan lembaga pendidikan tertua di dunia Islam, sebagai pioner kemajuan dan perkembangan ilmu pengetahuan.
Setelah Daulat Fatimiyah jatuh ke tangan Shalahuddin Al-Ayyubi tahun 567 H (1171 M), melalui Al-Azhar, aliran Syiah yang telah berkembang sekian lama dihilangkan dan diganti dengan aliran Sunni.
2.    Perpustakaan
Perpustakaan juga memiliki peran yang tidak kecil dibandingkan Masjid dalam penyebaran Aqidah Syi’ah Ismailiyah di masyarakat. Untuk itu para khalifah dan wazir memperbanyak pengadaan berbagai buku ilmu pengetahuan sehingga perpustakaan istana menjadi perpustakaan yang terbesar pada masa itu. Perpustakaan terbesar yang dimiliki dinasti Fathimiyah ini diberi nama Dzar Al-‘Ulum yang masih memiliki keterkaitan dengan perpustakaan Baitul Hikmah (perpustakaan Dinasti Abbasiyah). Perpustakaan ini didirikan pada tahun 998 M oleh khalifah Fathimiyah Al-Aziz. Isi tidak kurang dari 100.000 volume, boleh jadi sebanyak 600.000 jilid buku, termasuk 2400 buah Al-Qur’an berhiaskan emas dan perak dan disimpan di ruang terpisah.
Diantara penerjemahan abad kesembilan dan kesepuluh pada masa ini adalah Zurbah Ibn Majuh an-Na’ami al-Himsi, Halal ibn Abi Halal al-Himsi, Abu al-Fath Isfahani , Fethun at-Tarjuman, Abu Aswari, Ibnu Ayyub, Basil al-Mutran, Abu Yusuf al-Katib, Abu Umar Yuhanna ibnu Yusuf, dan Salam al-Abrash.
3.    Dar Al-‘ilm
Pada bulan Jumadil akhir tahun 395 H/ 1005 M  atas saran perdana menterinya Ya’qub bin Killis, khalifah Al-Hakim mendirikan jamiah ilmiah akademik (lembaga riset). Lembaga ini kemudian diberi nama Dar al-Hikmah. Di sinilah berkumpul para ahli fikih, astronom, dokter dan ahli nahwu dan bahasa untuk mengadakan penelitian ilmiah. Di perpustakaan ini para pelajar dapat mempelajari fikih Syi’ah, ilmu bahasa, ilmu falaq, kedokteran, matematika, falsafah serta mantiq. Para cendekiawan belajar Al-Qur’an, astronomi, tata bahasa, leksikografi dan ilmu kedokteran.
E.  Perkembangan Ilmu Pengetahuan pada Masa Dinasti Fatimiyah
Pada masa ini ulama membagi ilmu pengetahuan kepada dua macam, yaitu ilmu yang berhubungan dengan Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan yang bukan bersumber dari Arab.
Ilmu yang bersumber dari Al-Qur’an disebut dengan ilmu Naqliyah atau Syar’iyah sedangkan untuk kategori yang kedua disebut dengan ilmu Aqliyah/ Hukmiyyah, kadang disebut juga ilmu Az’am.
Yang termasuk ilmu Naqliyyah adalah: ilmu tafsir, qiraat, ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, lughah, al-bayan dan adab. Sedangkan yang termasuk ilmu aqliyyah adalah filsafat, arsitektur, ilmu nujum, musik, kedokteran, sihir, kimia, matematika, sejarah dan geografi. Diantara kontribusinya dalam pendidikan Islam, yang paling menonjol adalah bidang:
1.    Bahasa dan Sastra
Di antara ulama yang terkenal pada masa ini adalah Abu tohir An-Nahwi, Abu Ya’qub Yusuf bin Ya’qub, Abu Hasan Ali bin Ibrahim yang telah mengarang beberapa buku sastra dan belum sempat diterjemahkan bukunya tersebut oleh Ibn Khalikan. Ia memiliki perpustakaan yang sangat luas berisi karya-karya Maimonides, Galen, Hippocrates, dan Averroes yang mana terjual suatu lelang.
2.    Kedokteran
Dinasti Fatimiyah memberikan perhatian yang sangat besar pada keahlian kedokteran. Dinasti ini menempatkan posisi dokter di tempat yang tinggi dengan memberikan penghargaan berupa uang dan kedudukan yang terhormat. Lazimnya para dokter ini menguasai pula ilmu filsafat serta bahasa asing khususnya bahasa Suryani dan Yunani selain penguasaannya terhadap ilmu kedokteran. Di antara dokter itu ialah Abu Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Said An-Namimi yang bertempat tinggal di Baitul Maqdis dan banyak belajar ilmu kedokteran dari seorang pendeta, kemudian banyak menimba ilmu dari ulama di negara lain, sehingga mampu meracik obat sendiri.
Tokoh kedokteran lain yang terkenal adalah Musa bin al-Azzar yang Lidinillah. Demikian pula Abu Hasan Ali al-Riwan yang menjadi dokter  Khalifah al-Aziz. Selain ilmu di atas masih terdapat banyak ilmu yang berkembang pada masa ini seperti matematika, Ilmu falak, sejarah dan lain-lain.
3.    Syair
Para penyair pada masa ini melakukan pujian-pujian terhadap khalifah dengan menghina syair-syair ahli Sunnah, dengan pekerjaan ini mereka mendapat banyak imbalan dari khalifah, di antara dari mereka adalah Ibnu Hani’. Para penyair ini bersama para khalifah mencoba menyebarkan doktrin Syi’ah Ismailiyah melalui pantun dan syair. Selain Ibnu Hani’ yaitu Abu Abdullah Muhammad bin Abi Al-Jara’ (penyair yang hidup pada masa khalifah Al-Aziz). Secara umum para penyair menyenandungkan pujian akan kehebatan mazhab Syi’ah dan kebesaran serta kejayaan kepemimpinan khalifah mereka.
4.    Filsafat
Dalam menyebarkan tentang ke-Syiah-annya, Dinasti Fatimiyah banyak menggunakan filsafat Yunani yang mereka kembangkan dari pendapat-pendapat Plato, Aristoteles dan ahli-ahli filsafat lainnya. Kelompok ahli filsafat yang terkenal pada masa Dinasti Fatimiyah ini adalah Ikhwan al Shafa. Sementara itu filsuf yang terkenal pada masa ini adalah Abu Hatim Al-Razi yang menjadi tokoh pada masa khalifah Ubaidillah al-Mahdi merupakan orang yang dalam bidang sastra, filsafat. Ia merupakan tokoh propagandis di wilayah Rayy. Pengaruh propagandanya sangat besar yang dilakukannya di madrasah-madrasah yang dibangun oleh Ubaidillah Al-Mahdi yang berada di Afrika Utara. Filsuf yang lain adalah:
·      Abu Ubaidillah An Nasfi (331 H), karyanya ialah al-Mashul.
·      Abu Ya’qub as-Sajazy (331 H), diantara karyanya ialah Assasu da’wah, asy-Syaro’i, dan Kasyful Asyror.
·      Abu Hanifah an-Nu’man al-Maghriby (363/ 973-974 M), karyanya antara lain Mukhtashar al-Atsar, Kitab Al-Buyu’, Kitab Thaharah, Kaifiyyatu al-Salat, dan Minhaj al-Faridh.
·      Ja’far bil Mansyur al-Yaman, karyanya: Ta’wil al-Zakat, Sarair al-Nutqa’u, Al-Jafru al Aswad, dan Al-Kasyfu.
·      Hamiduddin Al-Kirmani, karyanya: Uyunul Akhbar, Al Mashobihu fi Itsbati Imamah.[6]











BAB III
KESIMPULAN

1.    Khilafah Bani Fatimiyah didirikan di Tunisia pada tahun 909 M oleh Ubaidillah Al Mahdi yang memiliki mazhab Syi’ah Ismailiyah. Mereka mengaku sebagai keturunan Nabi melalui Ali dan Fatimah melalui garis Ismail putra Ja’far Al Shadiq. Dinasti ini muncul di Afrika utara pada akhir abad ke 3 Loyalitas terhadap Ali bin Abi Thalib adalah isu terpenting bagi komunitas Syi’ah untuk mengembangkan konsep Islamnya, yang pada akhirnya isu tersebut mengarah kepada gerakan politis dalam bentuk perlawanan kepada Khilafah Abbasiyah yang terpusat di Baghdad.
2.    Masyarakat Mesir pada masa Dinasti Fatimiyah terdiri dari kelompok Ahli Sunnah dan Syi’ah, orang-orang Afrika yang berkedudukan sebagai tentara-tentara, Ahl Dzimah, orang-orang Turki yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti Thuluniyah hingga masa Khalifah Al-Hakim, dan orang-orang Sudan yang telah menetap di Mesir sejak masa Dinasti Ikhsyidiyah.
3.    Politik dalam negeri dinasti ini hanya memiliki satu tujuan yaitu berusaha mengajak masyarakat untuk memeluk mazhab Syi’ah Ismailiyah.
Adapun politik luar negerinya ialah, bahwa tidak diragukannya berdirinya Dinasti Fatimiyah di Afrika memberikan nuansa kekhawatiran pada Dinasti Abbasiyah dikarenakan penguasaan mereka atas wilayah ini akan menaikkan derajat Fatimiyah di wilayah Mesir, Syam, Palestina, dan Hejaz.
4.    Lembaga pendidikan pada masa Fatimiyah ialah Masjid Al-Azhar dan Istana, perpustakaan, dan Dar al ‘Ilm.
5.    Pada masa Dinasti Fatimiyah banyak kontribusinya terhadap pendidikan Islam. Ilmu pengetahuan yang dipelajari yaitu ilmu Naqliyyah (ilmu tafsir, qiraat, ilmu hadits, fiqh, ilmu kalam, nahwu, lughah, al-bayan dan adab) dan ilmu aqliyyah (filsafat, arsitektur, ilmu nujum, musik, kedokteran, sihir, kimia, matematika, sejarah dan geografi).


[1] Suwito, dkk., Sejarah Sosial Pendidikan Islam (Jakarta: Kencana, 2008), 122-123.
[2] Ibid, 123.
[3] W. Montgomery, Kejayaan Islam  Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1990),  216.
[4] Suwito, dkk., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 179.
[5]Asma Hasan Fahmi, Sejarah dan Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), 35-36.
[6]Suwito, dkk., Sejarah Sosial Pendidikan Islam, 132-133.
Ajid Thohir, Perkembangan Peradaban di Kawasan Dunia Islam (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004), 116-117.

No comments:

Post a Comment